PENYITAAN BARANG DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
|
Ilustrasi Penyitaan |
Benda sitaan pada dasarnya tidak
berbeda dengan status seorang tersangka selama belum ada putusan yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka benda sitaan masih merupakan milik tersangka
atau mereka yang sedang berperkara. Sehingga benda sitaan harus dilindungi baik
terhadap kerusakan maupun terhadap pengunaan tanpa hak.
Namun menurut Soenarto Soerodibroto, istilah barang bukti dipergunakan untuk
memijak pada barang-barang yang disita berdasarkan Pasal 42 HIR yang menurut
tulisannya sebagai berikut:
De met opsporen van misdrijven en
overtredingen bekeste ambtenanren, bacambten en bijzondere persone zijn wijders
ge nouden om de voorwerpen, welke to plegen van eeming misdrijf en tetval
gemeen alle zodanige zakewn, walke door middle van misdrif of overt reding zijn
verkregin voort ge bracht of door voor in de plasts getreden, nate sporen en in
beslang ten amen zoder….
Dalam perundang-undangan negara
Republik Indonesia Pasal 42 HIR diterjemahkan “pengadilan atau pejabat dan
orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran
selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang yang dipakai.”
Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal 10 KUHP) bisa
terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan terhadap benda
merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana diantaranya
adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas sekali
diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Barang yang disita merupakan milik
terhukum. Kepemilikan disini dapat dimaksudkan bahwa masih milik terhukum
disaat peristiwa pidana dilakukan atau pada waktu perkara diputus. Benda sitaan
untuk keperluan proses peradilan barang sitaan yang dalam ketentuan acara
pidana juga disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1
butir 4 PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana.
Proses awal penyitaan hanya bisa
dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan pada surat izin Ketua Pengadilan
Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP. Dalam Ayat (2)
menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik
harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan
hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Penyitaan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara terpisah dalam dua tempat, sebagai
besar diatur dalam Bab V, bagian keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP
dan sebagian kecil diatur dalam Bab XIV mengenai penyitaan tercantum dalam
Pasal 1 butir 16 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan dibawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan.
Dari
pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan:
1. Penyitaan
termasuk tahap penyidikan karena dikatakan “serangkaian tindakan penyidikan
untuk barang bukti dalam proses pidana;
2. Penyitaan
bersifat pengambil-alihan penyimpanan di bawah peguasaan penyidik suatu benda
milik orang lain;
3. Benda
yang disita berupa benda begerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak
berwujud;
4. Penyitaan
itu untuk tujuan kepentingan pembuktian.
Di
sini terdapat kekurangan sesungguhnya penyitaan seharusnya dapat dilakukan
bukan saja untuk kepetingan pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang
dapat dirampas. Hal demikian diatur dalam Pasal 94 Ned, Sv (Hukum Acara Pidana
Belanda).
Pasal 38 KUHAP tersebut di atas
merupakan penegasan kepastian hukum agar tidak terjadi simpang siur yang dapat
melakukan penyitaan, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi
(perbedaan) dan spesialisasi fungsional (yang berwenang) secara institusional
(lembaga) yang dapat melakukan penyitaan hanya “penyidik”, karena dalam
peraturan lama - HIR Polisi dan Kejaksaan samasama sebagai penyidik dan
berwenang melakukan penyitaan, tetapi setelah Kitab Hukum Acara Pidana
diberlakukan telah dibatasi yang berwenang untuk melaksanakan penyitaan adalah
penyidik Polri, walaupun kemungkinan pada waktu penuntutan atau tingkat
pemeriksaan di pengadilan dianggap perlu dilakukan penyitaan suatu barang,
hakim mengeluarkan penetapan agar penuntut umum memerintahkan penyidik Polri
untuk melaksanakan penyitaan.
Adapun tujuan penyitaan adalah untuk
keperluan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang
pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat
diajukan ke muka sidang pengadilan. Oleh karena itu agar suatu perkara lengkap
dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan
sebagai bukti dalam penyidikan, dalam tingkat penuntutan dan tingkat
pemeriksaan persidangan pengadilan.
TATA CARA MEMPEROLEH BARANG
1.
Pengelolaan
Benda Sitaan dan Barang Rampasan dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Benda
sitaan dan barang rampasan adalah dua objek yang berbeda di dalam sistem hukum
acara pidana Indonesia meski sebetulnya merupakan objek kebendaan yang sama.
Benda sitaan adalah benda-benda yang disita untuk kepentingan pembuktian di
penyidikan, penuntutan, atau peradilan berdasarkan Pasal 39 KUHAP.
Sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh putusan pengadilan
dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan alasan-alasan berdasarkan Pasal 46
ayat (2) KUHAP. Untuk mengkaji masalah pengelolaan benda sitaan dan barang
rampasan perlu dipaparkan terlebih dahulu hakikat tindakan penyitaan menurut
KUHAP dengan pendekatan ilmiah/akademik
1. Penyitaan
Sebagaimana
disebutkan oleh Pasal 1 angka 16 KUHAP bahwa Penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan
peradilan.
KUHAP mengatur kewenangan Penyitaan pada Bab V Bagian Keempat Pasal 38- 46.
Berdasarkan Pasal 36-48, beberapa prinsip utama penyitaan adalah :
a. Penyitaan harus dengan ijin Ketua
Pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, keadaan mana
penyitaan hanya dapat dilakukan atas benda bergerak (Ps. 38)
b. Objek penyitaan diatur secara
limitatif dalam Pasal 39, meski bunyi pasal tersebut masih menimbulkan
perdebatan dan pertanyaan dalam praktek.
c. Penyitaan juga dapat dilakukan dalam
hal tertangkap tangan (Ps. 40).
d. Dalam hal tertangkap tangan,
Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang ditujukan atau
berasal dari Tersangka (ps. 41).
e. Penyidik berwenang memerintahkan
orang yang menguasai benda untuk menyerahkan benda yang di bawah kekuasaannya
itu (Ps. 42).
f. Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan
benda sitaan negara dan tanggungjawabnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (Ps. 44).
g. Benda sitaan yang mudah rusak dan
membahayakan, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka dapat dijual lelang atau
diamankan dan (uang) hasil lelang itu dapat dijadikan barang bukti, dengan
sedapat mungkin sebagian kecil dari benda itu disisihkan guna kepentingan
pembuktian (Ps. 44 ayat (1-)
h. Benda sitaan yang bersifat terlarang
dirampas bagi kepentingan negara atau dimusnahkan.
Dalam hal
pemilik suatu benda terkait dengan tindak pidana yang akan dibuktikan, bukti
administrasi kepemeilikan suatu benda harus dirampas di bawah penguasaannya dan
diambil alih kekuasaan hukumnya sehingga pemilik tidak dapat memindahkan kepemilikannya.
Hal yang erakhir ini erat kaitannya dengan objek penyitaan sebagaimana diatur
Pasal 39 ayat (1) KUHAP:
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan
adalah:
a. Benda atau tagihan Tersangka atau
Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana aau
sebagai hasil dari tindak pidana
b. Benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda-benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan
langsung dengan indak pidana yang dilakukan.
Sebagai
catatan, dalam praktek seringkali terjadi penyitaan yang tidak sesuai aturan
KUHAP. Pada beberapa kasus, Penyidik menyita benda-benda yang tidak ada
kaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan yang menjadi dasar penugasannya padahal pada saat akan melakukan
penggeledahan, Penyidik sepatutnya dapat menginventarisasi benda apa yang dicarinya
dan benda-benda apa yang diperkirakan ada kaitan dengan tindak pidana yang
sidang disidiknya.
Hal ini penting untuk menghindarkan masyarakat/publik bahkan seorang pelaku
kejahatan dari penyalahgunaan kewenangan penegak hukum yang amat luas itu.
1.
Pengelolaan
Benda Sitaan dan Barang Rampasan menurut KUHAP
Sebagaimana
telah disampaikan pada alinea awal Bagian B tulisan ini, benda sitaan dan
barang rampasan adalah objek dua perbuatan hukum yang berbeda. Objeknya sama
namun berasal dari perbuatan hukum yang berbeda. Benda sitaan adalah
benda-benda yang diambil alih kekuasaan hukumnya atau dirampas penguasaan
fisiknya, sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh putusan
pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara maupun untuk kepentingan pembuktian
perkara lain.
Pengelolaan
benda sitaan dan barang rampasan telah diatur secara tegas dan jelas di Pasal
44 dan 45 serta 46 KUHAP. Ketentuan Pasal 44 dan 45 mengatur secara khusus
benda sitaan sejak disita sampai dengan lahirnya putusan pengadilan, sedangkan
Pasal 46 mengatur secara khusus benda sitaan pasca lahirnya putusan pengadilan
baik yang berstatus dirampas maupun berstatus lain.
Pasal 44
KUHAP menyatakan:
(1) Benda sitaan disimpan dalam
rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggungjawab atasnya ada pada pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan
benda ersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Penjelasan Pasal 44 menyatakan:
(1) Selama belum ada rumah penyimpanan
benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan
tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian negara Republik Indonesia, di
kantor kejaksaan negeri, di kanor pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah
dan dalam keadaan memaksa di tempa penyyimpanan lain atau tetap di tempat
semula benda itu disita.
Dari Pasal
44 ayat (1) jelas terdapat norma bahwa benda sitaan harus disimpan di rumah
penyimpanan benda sitaan negara atau yang menurut PP Nomor 27 tahun 1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana saat ini dikenal
sebagai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN). Sebagai undang-undang yang
mengatur hukum acara pidana, norma yang terdapat di dalamnya adalah norma
pengaturan yang mengikat dan karenanya harus diikuti. Apa yang diatur dalam
suatu hukum acara adalah tatacara yang diakui. Sebaliknya, hal-hal yang tidak
diatur dalam hukum acara bukanlah hal yang diakui/diperbolehkan. Norma harus
diatur dalam batang tubuh suatu undang-undang dan tidak boleh diatur dalam
bagian penjelasan. Sebagaimana kedudukannya, bagian penjelasan haruslah
merupakan penjabaran dari batang tubuh undang-undang. Bagian penjelasan juga
tidak boleh memuat norma.
KUHAP juga mengatur prinsip
pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan di Pasal 45 dan 46. Pasal 45
menyatakan:
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas
benda yang dapat lekas rusak aau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk
disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh
kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi
terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat
diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila perkara masih ada di tangan
penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh penyidik atau penuntut umuum, dengan disaksikan oleh Tersangka
atau kuasanya;
b. Apabila perkara sudah di tangan
pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh
penuntut umum atas ijin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh
Terdakwa atau kuasanya;
(2) Hasil pelelangan benda yang
bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti;
(3) Guna kepentingan pembuktian
sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari beda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1);
(4) Benda sitaan yang bersifat
terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara
atau untuk dimusnahkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat
(1), ada 3 jenis benda yang dapat dilelang demi efektifitas pengelolaannya:
a. Benda yang dapat lekas rusak.
b. Benda yang membahayakan.
c. Benda yang biaya penyimpanannya
terlalu tinggi.
2.
Tantangan Efektifitas Pengelolaan Benda Sitaan dan
Barang Rampasan
Ketentuan KUHAP mengenai pengelolaan
benda sitaan dan barang rampasan yang dianggap tidak efektif dan tidak mampu
memenuhi perkembangan penegakan hukum mendorong institusi penegak hukum seperti
Polri dan Kejaksaan menerbikan aturan sendiri untuk memudahkan aparaturnya
melaksanakan kewenangan penyitaan yang diamanatkan oleh KUHAP. Di sisi lain,
institusi penyidik yang berwenang melakukan penyitaan mengakui hambatan dan
kendala pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan antara lain:
1. Keterbatasan jumlah SDM.
2. Keterbatasan kemampuan SDM.
3. Keterbatasan tempat penampungan.
4. Keterbatasan anggaran.
5. Dll.
Keterbatasan-keterbatasan di atas
memberi implikasi yang sangat besar kepada proses penegakan hukum terutama
dalam kaitan dengan jaminan pemulihan kerugian (keuangan) negara/daerah. Di
sisi lain, pengelolaan benda sitaan yang tidak terarah pun akan menimbulkan
resiko hukum dalam hal benda sitaan diputus oleh hakim untuk dikembalikan
kepada pemilik atau orang yang menguasainya. Pengelolaan benda sitaan dan
barang rampasan harus terhindar dari resiko hilang dan rusaknya benda, menurun
atau hilangnya produktivitas benda, maupun resiko lain yang dapat mengakibatkan
menurun atau hilangnya nilai nominal benda secara keseluruhan.
Adapun aturan yang dibuat tersendiri
oleh institusi penegak hukum dalam pengelolaan benda siataan dan barang
rampasan adalah:
1.
Polri:
a. Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun
2010 tentang Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Polri.
2.
Kejaksaan:
a. SEJA No. SE-010/A/JA/08/2015 tentang
Kewajiban Jaksa untuk Melelang Barang Sitaan yang Lekas Rusak atau Memerlukan
Biaya Penyimpanan Tinggi.
b. SEJA No. SE-011/A/JA/08/2015 tentang
Barang Rampasan Negara yang Akan Digunakan untuk Kepentingan Kejaksaan
c. Surat JA No. B-079/A/U.1/05/2016
perihal Tertib Administrasi Penyelesaian Benda Sitaan dan Barang Rampasan yang
Dititipkan di Rupbasan.
Untuk
menilai apakah aturan yang dibuat tersendiri oleh institusi penegak hukum itu
bertentangan atau tidak dengan prinsip pengelolaan benda sitaan dan barang
rampasan yang diatur oleh KUHAP, perlu dilakukan kajian tersendiri. Namun seara
umum, mengacu pada ketentuan Pasal 44 ayat (1) sebagaimana telah disampaikan di
bagian terdahulu, penyimpanan benda sitaan yang tidak dilakukan di RUPBASAN
adalah bertentangan dengan KUHAP.
Alasan keberadaan RUPBASAN yang belum merata di berbagai wilayah RI sepatutnya
mendorong negara untuk membangun RUPBASAN mengingat fungsi dan perannya yang
sangat penting, terlebih untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh
Penyidik dan pengelola barang sitaan mengignat besarnya potensi untuk itu.
Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan kebijakan hukum lain demi
efektifitas anggaran mengingat biaya yang dibutuhkan untuk membangun RUPBASAN
di seluruh wilayah hukum Indonesia tidaklah murah terutama dalam kondisi
keuangan negara yang sangat terbatas saat ini.
Sehubungan dengan kebutuhan
pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan yang lebih efisien, perlu
dipertimbangkan untuk mengembangkan makna Pasal 45 untuk bisa melelang benda
sitaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip seperti:
a. Benda sitaan yang harus dilelang
adalah benda sitaan yang nilainya cenderung menurun bahkan signifikan seperti
kendaraan bermotor dan barang bergerak lain.
b. Benda sitaan yang tidak harus
dilelang adalah benda sitaan yang nilainya relatif bertahan atau bahkan naik
seperti tanah dan barang antik tertentu.
Selain melelang benda sitaan,
pengelolaan benda sitaan juga perlu memperhatikan hal-hal seperti benda-benda
yang bernilai/komersil atau benda-benda yang produktif yang penyitaan dengan
menguasai fisik kebendaannya dapat mengakibatkan penurunan nilainya sedangkan
di sisi lain aparat penegak hukum dan RUPBASAN tidak mampu mengelola sendiri.
Dengan demikian secara umum
pengelolaan benda sitaan dapat dikategorikan pada beberapa bentuk pengelolaan:
1. Pengelolaan benda sitaan yang
sekedar disimpan demi tujuan pembuktian (terutama) di pegadilan. Hal ini
dilakukan terhadap benda-benda yang tidak bernilai signifikan secara ekonomis
dan penyimpanannya tidak membutuhkan kemampuan khusus dan atau ruang
penyimpanan yang terlampau besar/luas.
2. Pengelolaan benda sitaan yang perlu
atau harus dilelang demi efektifitas pemeliharaan dan menjaga nilai ekonomis
benda tersebut tanpa menyampingkan kepentingan untuk pembuktian di sidang
pengadilan.
3. Pengelolaan benda sitaan yang perlu
ditangani dengan kemampuan khusus dan karenanya tidak selalu harus diikuti
dengan penguasaan fisik barangnya. Hal ini dapat diterapkan terhadap
benda-benda yang produktif seperti alat berat, kapal, dan lain-lain.
Potensi
kendala pelelangan sehubungan syarat “sejauh mungkin dengan persetujuan
tersangka/terdakwa...” sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dapat diminimalisasi
dengan memberikan penjelasan kepada Tersangka/Terdakwa mengenai nilai tambah
pelelangan benda-benda tertentu dan bahwa tersangka/Terdakwa tidak dirugikan
karenanya. Lebih dari itu, KUHAP tidak mensyaratkan persetujuan
Tersangka/Terdakwa untuk melakukan lelang.
4. Pengelolaan
Benda Sitaan dan Barang Rampasan Harus Mengantisipasi Perkembangan Hukum
Saat
ini Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika, UU
Perdagangan Manusia, dan berbagai undang-undang lain yang ketentuan dan
normanya telah mengikuti perkembangan ilmu hukum termasuk perkembangan
kejahatan yang semakin canggih. Belum lagi RUU Perampasan Aset yang saat ini
tengah disusun yang juga perlu antisipasi pengelolaan benda sitaan dan barang
rampasan secara lebih komprehensif.
Atas
dasar hal-hal di atas, perlu dilakukan terobosan hukum dari ketentuan yang ada
di KUHAP atau membuat UU Hukum Acara Pidana yang baru yang lebih mampu
memayungi berbagai perkembangan ilmu hukum dan praktek penegak hukum di samping
memberi perlindungan hukum dan menjamin kepastian hukum. Rencana untuk mengejar
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, tindak
pidana korupsi, tindak pidana narkoika, tindak pidana pencucian uang, dan
tindak pidana lintas negara lainnya juga membutuhkan pengaturan yang lebih
lengkap dan menyeluruh. Kebutuhan untuk mengubah KUHAP untuk tujuan efektifitas
pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan juga perlu dipertimbangkan. Usia
KUHAP yang telah mencapai 35 tahun memberikan banyak catatan dalam praktek
mengenai adanya sejumlah kendala baik aturan yang tidak lengkap, tidak jelas,
maupun norma yang sudah tertinggal/berubah.