Friday, November 4, 2022

CONTOH PERMOHONAN SURAT KETERANGAN TANDA LULUS (SKTL)


Medan, 29 Juli 2022

Kepada Yth,

Bapak Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Di Medan


Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama                                       : Putra Tama Marbun

NIM                                        : 220205182

Tempat/Tanggal lahir              : Surakarta / 21 Juni 2000

Program Studi                         : Hukum

No. Alumni                             : 150211

Tanggal Lulus                         : Senin, 16 Juli 2022

Alamat                                    : Jalan Bangun Pemuda Pemudi No 71 Medan

Judul Skripsi             : Analisis Mekanisme Pemilihan Presiden Republik Indonesia

            Dengan ini memohon kepada Bapak agar sudi kiranya menerbitkan Surat Keterangan Tanda Lulus (SKTL) untuk memenuhi persyaratan kelengkapan berkas untuk melamar kerja.

            Demikian permohonan ini saya sampaikan, atas perhatian dan bantuan Bapak saya ucapkan terima kasih.

 

Pemohon,

 


                                                                                               Putra Tama Marbun

Wednesday, June 17, 2020

PERAMPASAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA


PERAMPASAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Ilustrasi Perampasan
Perampasan secara terminologi berasal dari kata “rampas” memiliki makna ambil/dapat dengan paksa (dengan kekerasan).[1] Menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan  dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan bahwa perampasan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan.
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana menyebutkan bahwa :[2] Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing.
            Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) mengenai perampasan dapat dilihat dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP sebagai berikut[3]:
            “Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”

 Adapun Dasar hukum perampasan :
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak       Pidana Pencucian Uang;
4.    Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata    Cara Pengelolaan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara

KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA
Mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan, hal ini diterapkan di beberapa negara. Dalam artikel Perlunya Aturan Illicit Enrichment untuk Cegah Korupsi, Deputi Bidang Hukum Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yunus Husein mengatakan bahwa dalam penerapan illicit enrichment (IE) di Australia dan beberapa negara lain, perampasan aset dilakukan tanpa pemidanaan. Perampasan itu dikenakan terhadap aset yang tak dapat dibuktikan pelaku dengan pembuktian beban terbalik, tanpa dilakukan pemidanaan.
Dari sini dapat kita simpulkan sementara bahwa perampasan aset tanpa pemidanaan adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mana asetnya dapat dirampas oleh negara tanpa orang tersebut dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.
Pada dasarnya dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang dikenal adalah perampasan barang sebagai salah satu pidana (hukuman) tambahan sebagaimana disebut dalam Pasal 10 KUHP:

Hukuman-hukuman ialah:
a)      Hukuman-hukuman pokok:
1.    hukuman mati,
2.    hukuman penjara,
3.    hukuman kurungan,
4.    hukuman denda;
b)      Hukuman-hukuman tambahan:
1.    pencabutan beberapa hak yang tertentu,
2.    perampasan barang yang tertentu,
3.    pengumuman keputusan hakim.
Ini artinya, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak (perampasan aset) merupakan hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau benda.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Mengenai perampasan dapat dilihat dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
“Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”
Sedangkan definisi penyitaan dapat dilihat dalam KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang . Terkait perampasan aset, seperti yang diberitakan dalam artikel Perampasan Aset Cukup Putusan Hakim Pengadilan Negeri, Hakim di Pengadilan Negeri punya tambahan tugas. Yaitu menetapkan perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Kewenangan itu, bersifat final dan mengikat. Perampasan aset diawali dengan tindakan penghentian sebagian atau seluruh transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) atas permintaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”).
Kemudian, PJK melaksanakan permintaan PPATK selama lima hari kerja setelah permintaan diterima dan dapat diperpanjang 15 hari kerja. Perpanjangan masa penghentian sementara transaksi dimaksudkan untuk PPATK melengkapi hasil analisis guna diserahkan pada penyidik. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar pengadilan memutuskan Harta Kekayaan (aset) yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. “Sudah barang tentu untuk dapat membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan sebagai barang bukti ke hadapan hakim dalam tahap penuntutan.”
Hal ini secara implisit juga telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain (“Perma 1/2013”). Memang, tak ada ‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1/2013 ini. Perma memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara;
Pengertian barang rampasan sebagai berikut: Barang Rampasan Negara (Baran) adalah benda sitaan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.

BENTUK PERAMPASAN
            Perampasan terhadap aset hasil tindak pidana yang berdasarkan system KUHAP ini tidak dapat dilaksanakan bilamana terdakwanya tidak dapat dihadirkan di persidangan, baik karena meningal dunia, melarikan diri, tidak diketahui keberadaannya atau sakit permanen. Dengan demikian terhadap aset tersebut tentu tidak dapat dilakukan penuntutan hukum, kecuali dengan menggunakan instrument atau ketentuan Perampasan ini.s
            Agar penerapan Perampasan tidak bertentangan dengan asas fundamental dalam hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum KUHAP butir c, maka tuntutan perampasan aset hasil tindak pidana berdasarkan Perampasan ini hanya akan dilakukan jika prosedur KUHAP tidak dapat dilakukan.
Barang-barang yang dapat dirampas dibagi dalam 2 golongan , yaitu: Barang yang diperoleh dengan kejahatan , seperti uang palsu yang diperoleh dari kejahatan pemalsuan uang, penyuapan,dsb. Barang barang ini disebut corpora delicti dan selalu dapat dirampas asal saja menjadi milik dari yang terhukum dan berasal dari kejahatan, baik kejahatan doleus maupun kejahatan culpose. Corpora delicti itu hanya dapat dirampas dalam hal hal yang ditentukan oleh undang undang misalnya pasal pasal 502 ayat 2 KUHP, 519 ayat 2 KUHP, 549 ayat 2 KUHP, dll. Serta Barang yang sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya sebuah pistol, sebuah pisau belati , sebuah golok , alat alat untuk melakukan abortus , dll. Barang barang ini disebut instrumenta delicti dan selalu dapat dirampas asal saja milik dari yang terhukum dan dipakai untuk melakukan kejahatan doleus. Dalam hal instrumenta delicti itu digunakan untuk melakukan kejahatan culpose atau pelanggaran , maka instrumenta delicti itu hanya dapat dirampas dalam hal hal yang ditentukan oleh undang undang , misalnya pasal pasal 205 ayat 2, 519 ayat 2 , 502 ayat 2 , 549 ayat 2 KUHP, dll.[4]
PRAKTEK PENYELENGGARAAN PERAMPASAN
            Dalam prakteknya, perampasan barang ataupun aset terhadap barang sitaan yang dilakukan oleh pemerintah  tidak terlalu kompleks diatur didalam Kitab Undang – undang Acara Pidana ( KUHAP ). Praktek ini diatur pada KUHAP, UU Tipikor, ataupun RUU tentang perampasan aset tindak pidana.
Pasal 39
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 41
(1) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.
(2) Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(4) Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
(5) Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.
- Pasal 40 perampasan atas barang-barang selundupan melanggara aturan pengawasan pelayaran.
 - Pasal 41 mengatur pidana pengganti atas perampasan aset yang dijatuhkan.
Pada bidang Tipikor dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat diperinci bahwa pidana tambahan yang ditentukan terdiri dari:
 a. perampasan barang bergerak yang berwujud yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
b. perampasan barang bergerak yang tidak berwujud yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
c. perampasan barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.[5]

PERSYARATAN PERAMPASAN DAN CARA PERAMPASAN
Menurut Mardjono Reksodiputro, perampasan aset dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu:
a.      Perampasan pidana. Perampasan ini telah umum dikenal dalam bentuk penyitaan atas barang tertentu dan apabila ternyata barang tersebut adalah alat yang digunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan, maka dengan putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap barang itu disita untuk negara.
b.      Perampasan administrasi. Perampasan ini bersifat kontraban, yaitu eksekutif (pemerintah) diberikan hak oleh undang-undang untuk dapat segera merampas barang tertentu tanpa melalui persidangan. Misalnya tindakan kepabeanan dan bea cukai.
c.       Perampasan perdata. Perampasan perdata dahulunya dikenal sebagai perampasan terhadap barang-barang yang tidak bertuan karena perang, serta perampasan terhadap barang-barang yang “yatim piatu” (weiskamer).

Adapun Permohonan Perampasan Aset Dapat Dilakukan Setelah Penyidik Atau Penuntut Umum Melakukan Pemblokiran Dan/Atau Penyitaan. Permohonan Perampasan Aset Diajukan Oleh Penuntut Umum Kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat Secara Tertulis Dalam Bentuk Surat Permohonan Yang Dilengkapi Dengan Berkas Perkara. Di Sini Dinyatakan Bahwa Syarat Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Harus Memuat:
a.       Nama Dan Jenis Harta Kekayaan;
b.       Jumlah Harta Kekayaan;
c.       Tempat, Hari, Dan Tanggal Penyitaan;
d.      Uraian Singkat Yang Memuat Alasan Diajukannya Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Permohonan Secara Tertulis Dan Ditandatangani Oleh Penyidik Yang Ditujukan Kepada Ketua Pengadilan Negeri[6]



[1] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 1998. Hal. 451.
[2] Biro HukumSekjen.KementerianPekarjaanUmum, Undang-UndangNomor 1 tahun 2006 tentangBantuanTimbalBalikdalammasalahPidana, Biro HukumDepartemenPekerjaanUmum, Jakarta, 2010, hlm. 3
[5] https://www.bphn.go.id/data/documents/pphn_bid_polhuk&pemidanaan.pdf

PENYITAAN DALAM PROSES HUKUM ACARA PIDANA


PENYITAAN BARANG DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Ilustrasi Penyitaan

           
Benda sitaan pada dasarnya tidak berbeda dengan status seorang tersangka selama belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka benda sitaan masih merupakan milik tersangka atau mereka yang sedang berperkara. Sehingga benda sitaan harus dilindungi baik terhadap kerusakan maupun terhadap pengunaan tanpa hak.[1] Namun menurut Soenarto Soerodibroto, istilah barang bukti dipergunakan untuk memijak pada barang-barang yang disita berdasarkan Pasal 42 HIR yang menurut tulisannya sebagai berikut[2]:
            De met opsporen van misdrijven en overtredingen bekeste ambtenanren, bacambten en bijzondere persone zijn wijders ge nouden om de voorwerpen, welke to plegen van eeming misdrijf en tetval gemeen alle zodanige zakewn, walke door middle van misdrif of overt reding zijn verkregin voort ge bracht of door voor in de plasts getreden, nate sporen en in beslang ten amen zoder….
            Dalam perundang-undangan negara Republik Indonesia Pasal 42 HIR diterjemahkan “pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang yang dipakai.”[3] Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal 10 KUHP) bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP.
            Barang yang disita merupakan milik terhukum. Kepemilikan disini dapat dimaksudkan bahwa masih milik terhukum disaat peristiwa pidana dilakukan atau pada waktu perkara diputus. Benda sitaan untuk keperluan proses peradilan barang sitaan yang dalam ketentuan acara pidana juga disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1 butir 4 PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
            Proses awal penyitaan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan pada surat izin Ketua Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP. Dalam Ayat (2) menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
            Penyitaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara terpisah dalam dua tempat, sebagai besar diatur dalam Bab V, bagian keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dan sebagian kecil diatur dalam Bab XIV mengenai penyitaan tercantum dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.[4]
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan:
1.      Penyitaan termasuk tahap penyidikan karena dikatakan “serangkaian tindakan penyidikan untuk barang bukti dalam proses pidana;
2.      Penyitaan bersifat pengambil-alihan penyimpanan di bawah peguasaan penyidik suatu benda milik orang lain;
3.      Benda yang disita berupa benda begerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud;
4.      Penyitaan itu untuk tujuan kepentingan pembuktian.
Di sini terdapat kekurangan sesungguhnya penyitaan seharusnya dapat dilakukan bukan saja untuk kepetingan pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang dapat dirampas. Hal demikian diatur dalam Pasal 94 Ned, Sv (Hukum Acara Pidana Belanda).[5]
            Pasal 38 KUHAP tersebut di atas merupakan penegasan kepastian hukum agar tidak terjadi simpang siur yang dapat melakukan penyitaan, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi (perbedaan) dan spesialisasi fungsional (yang berwenang) secara institusional (lembaga) yang dapat melakukan penyitaan hanya “penyidik”, karena dalam peraturan lama - HIR Polisi dan Kejaksaan samasama sebagai penyidik dan berwenang melakukan penyitaan, tetapi setelah Kitab Hukum Acara Pidana diberlakukan telah dibatasi yang berwenang untuk melaksanakan penyitaan adalah penyidik Polri, walaupun kemungkinan pada waktu penuntutan atau tingkat pemeriksaan di pengadilan dianggap perlu dilakukan penyitaan suatu barang, hakim mengeluarkan penetapan agar penuntut umum memerintahkan penyidik Polri untuk melaksanakan penyitaan.
            Adapun tujuan penyitaan adalah untuk keperluan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan ke muka sidang pengadilan. Oleh karena itu agar suatu perkara lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan.[6]
TATA CARA MEMPEROLEH BARANG
1.      Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Benda sitaan dan barang rampasan adalah dua objek yang berbeda di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia meski sebetulnya merupakan objek kebendaan yang sama. Benda sitaan adalah benda-benda yang disita untuk kepentingan pembuktian di penyidikan, penuntutan, atau peradilan berdasarkan Pasal 39 KUHAP[7]. Sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan alasan-alasan berdasarkan Pasal 46 ayat (2) KUHAP. Untuk mengkaji masalah pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan perlu dipaparkan terlebih dahulu hakikat tindakan penyitaan menurut KUHAP dengan pendekatan ilmiah/akademik
1. Penyitaan
Sebagaimana disebutkan oleh Pasal 1 angka 16 KUHAP bahwa Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.[8] KUHAP mengatur kewenangan Penyitaan pada Bab V Bagian Keempat Pasal 38- 46. Berdasarkan Pasal 36-48, beberapa prinsip utama penyitaan adalah :
a.       Penyitaan harus dengan ijin Ketua Pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, keadaan mana penyitaan hanya dapat dilakukan atas benda bergerak (Ps. 38)
b.      Objek penyitaan diatur secara limitatif dalam Pasal 39, meski bunyi pasal tersebut masih menimbulkan perdebatan dan pertanyaan dalam praktek.
c.       Penyitaan juga dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan (Ps. 40).
d.      Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang ditujukan atau berasal dari Tersangka (ps. 41).
e.       Penyidik berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda untuk menyerahkan benda yang di bawah kekuasaannya itu (Ps. 42).
f.       Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara dan tanggungjawabnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (Ps. 44).
g.      Benda sitaan yang mudah rusak dan membahayakan, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka dapat dijual lelang atau diamankan dan (uang) hasil lelang itu dapat dijadikan barang bukti, dengan sedapat mungkin sebagian kecil dari benda itu disisihkan guna kepentingan pembuktian (Ps. 44 ayat (1-)
h.      Benda sitaan yang bersifat terlarang dirampas bagi kepentingan negara atau dimusnahkan.
Dalam hal pemilik suatu benda terkait dengan tindak pidana yang akan dibuktikan, bukti administrasi kepemeilikan suatu benda harus dirampas di bawah penguasaannya dan diambil alih kekuasaan hukumnya sehingga pemilik tidak dapat memindahkan kepemilikannya. Hal yang erakhir ini erat kaitannya dengan objek penyitaan sebagaimana diatur Pasal 39 ayat (1) KUHAP:
(1)   Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a.       Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana aau sebagai hasil dari tindak pidana
b.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.       Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.      Benda-benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.       Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan indak pidana yang dilakukan.
Sebagai catatan, dalam praktek seringkali terjadi penyitaan yang tidak sesuai aturan KUHAP. Pada beberapa kasus, Penyidik menyita benda-benda yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik berdasarkan Surat Perintah Penyidikan yang menjadi dasar penugasannya padahal pada saat akan melakukan penggeledahan, Penyidik sepatutnya dapat menginventarisasi benda apa yang dicarinya dan benda-benda apa yang diperkirakan ada kaitan dengan tindak pidana yang sidang disidiknya[9]. Hal ini penting untuk menghindarkan masyarakat/publik bahkan seorang pelaku kejahatan dari penyalahgunaan kewenangan penegak hukum yang amat luas itu.
1.      Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan menurut KUHAP
Sebagaimana telah disampaikan pada alinea awal Bagian B tulisan ini, benda sitaan dan barang rampasan adalah objek dua perbuatan hukum yang berbeda. Objeknya sama namun berasal dari perbuatan hukum yang berbeda. Benda sitaan adalah benda-benda yang diambil alih kekuasaan hukumnya atau dirampas penguasaan fisiknya, sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara maupun untuk kepentingan pembuktian perkara lain.
Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan telah diatur secara tegas dan jelas di Pasal 44 dan 45 serta 46 KUHAP. Ketentuan Pasal 44 dan 45 mengatur secara khusus benda sitaan sejak disita sampai dengan lahirnya putusan pengadilan, sedangkan Pasal 46 mengatur secara khusus benda sitaan pasca lahirnya putusan pengadilan baik yang berstatus dirampas maupun berstatus lain.
Pasal 44 KUHAP menyatakan:
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggungjawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda ersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Penjelasan Pasal 44 menyatakan:
(1)     Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kanor pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa di tempa penyyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita.
Dari Pasal 44 ayat (1) jelas terdapat norma bahwa benda sitaan harus disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara atau yang menurut PP Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana saat ini dikenal sebagai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN). Sebagai undang-undang yang mengatur hukum acara pidana, norma yang terdapat di dalamnya adalah norma pengaturan yang mengikat dan karenanya harus diikuti. Apa yang diatur dalam suatu hukum acara adalah tatacara yang diakui. Sebaliknya, hal-hal yang tidak diatur dalam hukum acara bukanlah hal yang diakui/diperbolehkan. Norma harus diatur dalam batang tubuh suatu undang-undang dan tidak boleh diatur dalam bagian penjelasan. Sebagaimana kedudukannya, bagian penjelasan haruslah merupakan penjabaran dari batang tubuh undang-undang. Bagian penjelasan juga tidak boleh memuat norma.
KUHAP juga mengatur prinsip pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan di Pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyatakan:
(1)   Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak aau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.       Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umuum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;
b.      Apabila perkara sudah di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya;
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti;
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari beda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1), ada 3 jenis benda yang dapat dilelang demi efektifitas pengelolaannya:
a.       Benda yang dapat lekas rusak.
b.      Benda yang membahayakan.
c.       Benda yang biaya penyimpanannya terlalu tinggi.

2.      Tantangan Efektifitas Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan
Ketentuan KUHAP mengenai pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan yang dianggap tidak efektif dan tidak mampu memenuhi perkembangan penegakan hukum mendorong institusi penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan menerbikan aturan sendiri untuk memudahkan aparaturnya melaksanakan kewenangan penyitaan yang diamanatkan oleh KUHAP. Di sisi lain, institusi penyidik yang berwenang melakukan penyitaan mengakui hambatan dan kendala pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan antara lain:
1.      Keterbatasan jumlah SDM.
2.      Keterbatasan kemampuan SDM.
3.      Keterbatasan tempat penampungan.
4.      Keterbatasan anggaran.
5.      Dll.
Keterbatasan-keterbatasan di atas memberi implikasi yang sangat besar kepada proses penegakan hukum terutama dalam kaitan dengan jaminan pemulihan kerugian (keuangan) negara/daerah. Di sisi lain, pengelolaan benda sitaan yang tidak terarah pun akan menimbulkan resiko hukum dalam hal benda sitaan diputus oleh hakim untuk dikembalikan kepada pemilik atau orang yang menguasainya. Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan harus terhindar dari resiko hilang dan rusaknya benda, menurun atau hilangnya produktivitas benda, maupun resiko lain yang dapat mengakibatkan menurun atau hilangnya nilai nominal benda secara keseluruhan.
Adapun aturan yang dibuat tersendiri oleh institusi penegak hukum dalam pengelolaan benda siataan dan barang rampasan adalah:
1.      Polri:
a.       Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2010 tentang Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Polri.
2. Kejaksaan:
a.       SEJA No. SE-010/A/JA/08/2015 tentang Kewajiban Jaksa untuk Melelang Barang Sitaan yang Lekas Rusak atau Memerlukan Biaya Penyimpanan Tinggi.
b.      SEJA No. SE-011/A/JA/08/2015 tentang Barang Rampasan Negara yang Akan Digunakan untuk Kepentingan Kejaksaan
c.       Surat JA No. B-079/A/U.1/05/2016 perihal Tertib Administrasi Penyelesaian Benda Sitaan dan Barang Rampasan yang Dititipkan di Rupbasan.
Untuk menilai apakah aturan yang dibuat tersendiri oleh institusi penegak hukum itu bertentangan atau tidak dengan prinsip pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan yang diatur oleh KUHAP, perlu dilakukan kajian tersendiri. Namun seara umum, mengacu pada ketentuan Pasal 44 ayat (1) sebagaimana telah disampaikan di bagian terdahulu, penyimpanan benda sitaan yang tidak dilakukan di RUPBASAN adalah bertentangan dengan KUHAP[10]. Alasan keberadaan RUPBASAN yang belum merata di berbagai wilayah RI sepatutnya mendorong negara untuk membangun RUPBASAN mengingat fungsi dan perannya yang sangat penting, terlebih untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh Penyidik dan pengelola barang sitaan mengignat besarnya potensi untuk itu. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan kebijakan hukum lain demi efektifitas anggaran mengingat biaya yang dibutuhkan untuk membangun RUPBASAN di seluruh wilayah hukum Indonesia tidaklah murah terutama dalam kondisi keuangan negara yang sangat terbatas saat ini.
Sehubungan dengan kebutuhan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan yang lebih efisien, perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan makna Pasal 45 untuk bisa melelang benda sitaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip seperti:
a.       Benda sitaan yang harus dilelang adalah benda sitaan yang nilainya cenderung menurun bahkan signifikan seperti kendaraan bermotor dan barang bergerak lain.
b.      Benda sitaan yang tidak harus dilelang adalah benda sitaan yang nilainya relatif bertahan atau bahkan naik seperti tanah dan barang antik tertentu.
Selain melelang benda sitaan, pengelolaan benda sitaan juga perlu memperhatikan hal-hal seperti benda-benda yang bernilai/komersil atau benda-benda yang produktif yang penyitaan dengan menguasai fisik kebendaannya dapat mengakibatkan penurunan nilainya sedangkan di sisi lain aparat penegak hukum dan RUPBASAN tidak mampu mengelola sendiri.
Dengan demikian secara umum pengelolaan benda sitaan dapat dikategorikan pada beberapa bentuk pengelolaan[11]:
1.      Pengelolaan benda sitaan yang sekedar disimpan demi tujuan pembuktian (terutama) di pegadilan. Hal ini dilakukan terhadap benda-benda yang tidak bernilai signifikan secara ekonomis dan penyimpanannya tidak membutuhkan kemampuan khusus dan atau ruang penyimpanan yang terlampau besar/luas.
2.      Pengelolaan benda sitaan yang perlu atau harus dilelang demi efektifitas pemeliharaan dan menjaga nilai ekonomis benda tersebut tanpa menyampingkan kepentingan untuk pembuktian di sidang pengadilan.
3.      Pengelolaan benda sitaan yang perlu ditangani dengan kemampuan khusus dan karenanya tidak selalu harus diikuti dengan penguasaan fisik barangnya. Hal ini dapat diterapkan terhadap benda-benda yang produktif seperti alat berat, kapal, dan lain-lain.
Potensi kendala pelelangan sehubungan syarat “sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka/terdakwa...” sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dapat diminimalisasi dengan memberikan penjelasan kepada Tersangka/Terdakwa mengenai nilai tambah pelelangan benda-benda tertentu dan bahwa tersangka/Terdakwa tidak dirugikan karenanya. Lebih dari itu, KUHAP tidak mensyaratkan persetujuan Tersangka/Terdakwa untuk melakukan lelang.
4.      Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Harus Mengantisipasi Perkembangan Hukum
Saat ini Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika, UU Perdagangan Manusia, dan berbagai undang-undang lain yang ketentuan dan normanya telah mengikuti perkembangan ilmu hukum termasuk perkembangan kejahatan yang semakin canggih. Belum lagi RUU Perampasan Aset yang saat ini tengah disusun yang juga perlu antisipasi pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan secara lebih komprehensif[12].
Atas dasar hal-hal di atas, perlu dilakukan terobosan hukum dari ketentuan yang ada di KUHAP atau membuat UU Hukum Acara Pidana yang baru yang lebih mampu memayungi berbagai perkembangan ilmu hukum dan praktek penegak hukum di samping memberi perlindungan hukum dan menjamin kepastian hukum. Rencana untuk mengejar pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkoika, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana lintas negara lainnya juga membutuhkan pengaturan yang lebih lengkap dan menyeluruh. Kebutuhan untuk mengubah KUHAP untuk tujuan efektifitas pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan juga perlu dipertimbangkan. Usia KUHAP yang telah mencapai 35 tahun memberikan banyak catatan dalam praktek mengenai adanya sejumlah kendala baik aturan yang tidak lengkap, tidak jelas, maupun norma yang sudah tertinggal/berubah.


[1] Heru Setiana, (Lapas Bojonegoro), “Rupbasan Tuntutan Reformasi Hukum”, Warta Masyarakat., hlm. 30
[2] Soenarto Seorodibroto, Apakah itu Barang Bukti ? Hukum dan Keadilan 1 dan 2, 1975, hlm. 2-3.
[3] Departamen Penerangan RI Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia Jilid I, 1962.
[4] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Karya Anda), hlm.5.
[5] Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Melalui Saranan Teknik dan Sarana Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hlm. 121.
[6] M. Yahya, loc cit. hlm. 286
[7] Pasal 10 KUHP
[8] Pasal 16 KUHAP
[9] Pasal 1 angka 3 Permenkumham 16/2014
[10] Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
[11] Pasal 10 dan Pasal 21 Permenkumham 16/2014
[12] Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Permenkumham 16/2014